Keamanan subjek merupakan kriteria utama uji klinis di Indonesia

Jakarta (JurnalPagi) –

Peneliti yang juga dokter spesialis anak RS Cipto Mangunkusumo, dr Nina Dwi Putri, Sp.A(K) mengatakan, semua uji klinis yang dilakukan di Indonesia adalah kriteria utama keamanan manusia, bukan manfaat atau efektivitas obat.

Berbicara pada acara yang diselenggarakan oleh Organisasi Riset Klinis, ia mengatakan: “Subjek harus dijaga keamanannya dalam uji klinis dan dipantau oleh Komite Etik, Badan POM, Organisasi Riset Klinis. Kami bekerja di bawah pengawasan lembaga independen. Ini adalah tim uji klinis.” Perhimpunan Pengkajian Narkoba Indonesia di Jakarta, Kamis.

Nina menegaskan, yang terpenting dalam uji klinis adalah orang dan pasien bertahan hidup, bukan manfaat atau efektivitas obat 100% sehingga subjek tidak perlu khawatir dengan keamanannya.

“Jadi jangan khawatir karena subjeknya aman. Tentunya ada informed consent (persetujuan tindakan medis) dan semua peserta uji klinis diasuransikan secara penuh,” katanya.

Nina mengatakan, saat ini dirinya bersama tim peneliti dari Universitas Indonesia, Universitas Padjaran dan Kementerian Kesehatan sedang mencari solusi terbaik untuk penelitian vaksin TB.

“Terlalu dini. (Tujuannya) harus secepat mungkin. Kita percepat karena masalah utama Indonesia. Indonesia peringkat ketiga dunia (untuk kasus TBC),” ujarnya.

Sementara itu, disebut masih minimnya uji klinis skala global di Indonesia, yang berdampak pada minimnya obat inovatif yang beredar di Tanah Air. Kajian yang dilakukan oleh Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) menunjukkan hanya sekitar 9% obat inovatif yang beredar di Indonesia.

Uji klinis vaksin GX-19N di Indonesia melibatkan 1.000 relawan.

Di sisi lain, menurut makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Institute for Economic Development and Finance (INDEF) pada 2018, kurangnya uji klinis dapat menghambat pertumbuhan industri farmasi nasional.

Faktanya, industri farmasi, termasuk yang terlibat dalam produksi vaksin, berpotensi mencapai nilai $125,49 miliar pada tahun 2028, menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arthur D. Little dari sebuah perusahaan konsultan manajemen.

Perwakilan dari Indonesian Association for Study of Medicines (IASMED) sekaligus akademisi dari Monash University Indonesia, Dr. Dr Grace Wang menilai perlu adanya penguatan, terutama terkait Permenkes No 16. 85 pada tahun 2020.

Dikatakannya: Peraturan ini mencakup beberapa aspek yang menurut kami dapat dimodifikasi untuk meningkatkan proses perizinan uji klinis dan menjaga akuntabilitas.

Menurutnya, beberapa pasal memiliki kemampuan untuk dibalik, salah satunya adalah ayat 2 pasal 31 dan pasal 35 yang memperlama proses administrasi dan administrasi.

Ia menambahkan, penguatan regulasi ini diharapkan dapat mendukung cita-cita terciptanya ekosistem riset obat, vaksin, dan alat diagnostik yang mumpuni dan mendukung kemandirian farmasi di Indonesia dalam jangka panjang.

FKUI ikuti uji klinis pengobatan COVID-19 terbesar di dunia

Koresponden: Lia Vanadriani Santosa
Editor: Siti Zulikha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *