Menerapkan penggunaan teknologi kecerdasan buatan dalam acara pemilu

Jakarta (JurnalPagi) – Teknologi kecerdasan buatan (AI) dapat dimanfaatkan dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis, khususnya pada sistem penghitungan suara dengan mengutamakan aspek keamanan di dunia maya atau keamanan cyber.

“Penekanan pemilu ini adalah ini keamanan cyber. Dr Tasia Sefiranita Ramli, Kepala Pusat Kajian Hukum Siber dan Transformasi Digital Fakultas Hukum Universitas Padjaran mengatakan, oleh karena itu, politik akan menjadi sejauh mana kecerdasan buatan digunakan sebagai sistem dalam penghitungan suara. , SH, MH, kepada JurnalPagi di Jakarta, Kamis.

Tasia mengungkapkan, dari sisi hukum kecerdasan buatan, teknologi ini dapat digunakan untuk kemampuan mesin dalam belajar dan melihat dokumen apa pun terkait penyelesaian masalah, penalaran, pemahaman bahasa, serta beberapa bentuk konsekuensi transformasi digital.

Pakar: Peretasan Sistem Bisa Turunkan Kredibilitas KPU di Mata Publik

Alasan Skeptis Sebelum Scan Kode QR

Ia menambahkan, sistem pemungutan suara di Indonesia bisa dimajukan agar tidak terpaku pada pola tradisional yang menggunakan penghitungan manual.

Misalnya kita mencoblos, maka secara otomatis dilakukan penghitungan suara, yang tidak lagi dilakukan dengan tangan manusia, karena sekarang bukan lagi masa konvensional, melainkan dengan mesin, digital, atau sistem penghitungan khusus. Di situlah kecerdasan buatan berperan, kata Tasia.

Ia kemudian menjelaskan tugas teknologi kecerdasan buatan jika digunakan dalam sistem penyelenggaraan pemilu terkait penghitungan suara. Menurut dia, kecerdasan buatan bukan soal hukum, melainkan agen elektronik yang aturannya jelas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, Pasal 1, Nomor 8.

Misalnya, saya membuat inovasi paten yang menciptakan robot untuk membantu jurnalis meliput peristiwa penting di zona konflik. Jika baterai robot tiba-tiba habis dan tidak dapat terus bekerja, inilah wajah orang yang mengendalikan robot tersebut. atau pencipta inovasinya.Kecerdasan buatan ini bisa kita lihat pada ayat 2 huruf T ayat 3 Pasal 21, kata peneliti kelahiran Bandung, 12 Juli 1988 itu.

Tasia juga menekankan bahwa undang-undang tersebut pada dasarnya harus mengejar perkembangan infrastruktur teknologi. Mengutip pendapat akademisi Andres Guadamoz dari University of Sussex Inggris, Tasia menjelaskan tidak ada rasa takut terhadap kemajuan teknologi melalui hadirnya kecerdasan buatan.

Menurut Andres Guadamoz,Kebangkitan mesin sudah terjadi, namun mereka datang bukan sebagai penakluk, namun sebagai pencipta‘. Oleh karena itu, teknologi menyesuaikan dengan waktu dan kehidupan sosial, sehingga kita tidak perlu takut dengan kecerdasan buatan. Dia menambahkan: “Seperti yang saya sarankan, undang-undang tersebut harus mengejar perkembangan infrastruktur teknologi.

Dari segi teori hukum, dosen Departemen Teknologi Informasi Komunikasi dan Kekayaan Intelektual (TIK dan KI) Fakultas Hukum Universitas Pajahran ini mengatakan, Indonesia bisa menggunakan teori hukum transformatif untuk mencapai kemajuan teknologi.

“Mau tidak mau, kita harus berubah, berkembang, atau kita akan terganggu, tertinggal, dan mati. Negara-negara lain tidak lagi mengikuti pola konvensional yang menekankan atau menjadikan manusia yang harus sebagai tujuan perubahan. Hal ini terlihat dari standar kualitas digital. “Misalnya di Jepang, kalau beli baju, datang ke toko, terima bajunya, scan barcode lewat kasir, masukkan jumlahnya, keluarkan tas belanjanya, dan itu saja. . Jadi mereka sangat percaya dengan teknologinya, kata Tasia di akhir penjelasannya.

Pakar Siber: Hukum Harus Mengikuti Perkembangan Teknologi

Pakar Siber: Regulasi Keamanan Sudah Ada, Tinggal Implementasi Lengkapnya

Uji Penetrasi Harian untuk Jaga Keamanan Sistem dan Data KPU

Koresponden: Ahmed Fishal Adnan
Editor: Guido Merong
Hak Cipta © JurnalPagi 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *