Hari Meteorologi Dunia adalah pengingat perubahan iklim

Jakarta (JurnalPagi) – Pada 23 Maret 1950, dibentuk organisasi khusus yang bertanggung jawab di bidang meteorologi bernama World Meteorological Organization (WMO). Hari berdirinya organisasi ini juga diperingati sebagai Hari Meteorologi Dunia (HMD).

Peringatan ini berfungsi sebagai pengingat bagi komunitas perubahan iklim global. Menurut situs resmi WMO, tema Hari Meteorologi Dunia ke-73 “Masa depan iklim, iklim dan air antar generasi”.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D mengatakan kepada JurnalPagi bahwa saat ini rata-rata suhu global lebih tinggi satu derajat Celcius dibandingkan era pra industri 1850-1900.

Di Indonesia, BMKG mencatat kenaikan suhu global menyebabkan 99 persen gletser di Puncak Jayawijaya mencair.

Menurut hasil riset BMKG, saat ini baru ada sekitar dua kilometer persegi, atau satu persen dari luas semula sekitar 200 kilometer persegi.

Pada tahun 2025, analisis BMKG memperkirakan tidak ada lagi es di Puncak Jayawijaya, karena suhu atmosfer bumi akibat efek gas rumah kaca terus meningkat.

Gas rumah kaca di atmosfer meliputi karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4) dan freon (SF6, HFC dan PFC). Salah satu yang paling sensitif terhadap peningkatan suhu global adalah CO2.

Di Indonesia, pemanasan juga mempersingkat periode ulang anomali iklim El Niño dan La Niña dari 5-7 tahun pada 1950-1980 menjadi hanya 2-3 tahun sejak 1981.

Semua fenomena tersebut menyebabkan peningkatan frekuensi, intensitas dan durasi cuaca ekstrim kering dan basah yang pada akhirnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan dalam negeri.

Frekuensi, intensitas dan durasi cuaca ekstrim menyebabkan kejadian cuaca dan bencana meteorologi seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, badai tropis, puting beliung dan kekeringan meningkat frekuensi, intensitas, durasi dan kejadiannya.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa 95% dari semua bencana di Indonesia disebabkan oleh kelembaban ekstrim dan bencana meteorologi. Salah satu pemicunya adalah anomali cuaca.

Oleh karena itu, BMKG menegaskan, masyarakat global, termasuk Indonesia, membutuhkan tindakan mendesak sejak dini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang mendorong kenaikan suhu global guna memastikan generasi mendatang dapat hidup lebih baik.

Pemantau suasana

Saat ini, Global Atmospheric Stations (GAW) di dunia hanya ada 33 buah, salah satunya berada di Indonesia, yakni di Bukit Kototabang, Sumatera Barat.

Stasiun ini merupakan salah satu stasiun dalam jaringan dunia yang bertugas untuk mengamati, mengumpulkan, mendistribusikan, mengolah dan menganalisis komposisi kimia atmosfer, gas rumah kaca dan parameter fisik atmosfer.

Pada tahun 1996 dilakukan pengukuran gas rumah kaca di GAW Bukit Kototabang untuk tingkat konsentrasi CO2 sebesar 372 PPM (parts per million), pada tahun 2022 konsentrasi CO2 meningkat menjadi 413 PPM.

Para ahli percaya bahwa pencapaian angka 400 PPM merupakan rekor tersendiri bagi sejarah manusia dan menunjukkan betapa cepatnya emisi gas rumah kaca akibat konsumsi manusia dalam satu abad terakhir.

Indonesia harus mampu menjaga konsentrasi CO2 di atas 450 PPM. Pasalnya, jika konsentrasi CO2 melebihi 450 PPM, dikhawatirkan cuaca ekstrem akan semakin intens dan berlangsung lebih lama.

Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat dengan kecepatan saat ini, diperkirakan pada akhir abad ke-21 kenaikan suhu akan meningkat menjadi 3,5-4 derajat Celcius, atau tiga kali lipat saat ini.

Telah diamati bahwa suhu Indonesia mulai meningkat menjadi 1,1°C sejak tahun 1990, yang relatif sedikit lebih rendah dari rata-rata global 1,2°C. Peningkatan suhu di Indonesia tidak lepas dari efek gas rumah kaca dan konversi lahan.

Berdasarkan data dari 91 stasiun pengamatan BMKG, suhu normal di Indonesia berkisar antara 21,3°C hingga 26,8°C pada periode 1991-2020, dan rata-rata suhu udara pada tahun 2022 sebesar 27°C.

peringatan dini

BMKG secara rutin mengeluarkan peringatan dini, namun tindakan proaktif oleh masyarakat tetap diperlukan untuk mengakses informasi tersebut, terutama di tingkat akar rumput.

Seorang nelayan harus dapat secara mandiri mengakses informasi angin dan tinggi gelombang untuk menentukan kapan harus berlayar, dan seorang petani harus dapat memeriksa sendiri informasi cuaca dan iklim untuk menentukan jenis tanaman yang tepat.

Apalagi saat ini BMKG telah berhasil melakukan lompatan inovasi prakiraan cuaca. BMKG baru bisa memberikan peringatan dini 30 menit sebelum kejadian.

Peringatan dini di Indonesia berlapis, mulai enam bulan sebelum kejadian, kemudian diperbarui setiap bulan, satu minggu, setiap tiga hari, hingga 30 menit sebelum kejadian.

Peringatan dini berlapis tersebut tidak lepas dari letak Indonesia yang berada di antara benua Asia dan Australia, serta Samudera Hindia dan Pasifik, serta topografi Indonesia yang bergunung-gunung.

Lokasi ini memungkinkan terjadinya perubahan iklim yang cepat, tidak seperti negara-negara kontinental yang iklimnya tidak sedinamis atau serumit Indonesia. Sehingga potensi miss forecast lebih tinggi di Indonesia, bukan karena instrumen canggih yang menghasilkan data tidak akurat.

Perlu dicatat bahwa BMKG biasanya mengajar negara-negara di Samudera Pasifik, sebagian Asia dan Afrika. Artinya, BMKG dipercaya dan kualitas datanya setara dengan Australia dan negara maju di Asia dan Eropa.

Namun dalam penanggulangan bencana, selain memperkuat komponen struktural peringatan dini, yang tak kalah pentingnya adalah respon masyarakat dalam aksi dini. Karena sekompleks apapun peringatan dini, jika tidak dibarengi dengan kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk merespon peringatan dini, maka prioritas pengurangan risiko bencana tidak akan terwujud.

Oleh karena itu, literasi iklim yang menyasar masyarakat multisektor harus ditingkatkan secara luas melalui kolaborasi multipihak untuk mempercepat kesadaran masyarakat dan tindakan dini.

BMKG memiliki program unggulan dan prioritas yaitu kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI) bagi petani dan literasi iklim bagi generasi muda dan masyarakat. Melalui aplikasi ini, BMKG langsung berinteraksi dengan pengguna akhir informasi.

Melalui SLI diharapkan dapat menjadi bagian dari pertanian cerdas iklim menuju ketahanan pangan nasional. SLI dan literasi iklim bagi generasi muda dan masyarakat juga diharapkan dapat menjadi bagian dalam mendukung program pemerintah dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara mandiri.

Mendekati Hari Meteorologi Dunia tahun ini, BMKG tentunya akan terus meningkatkan pelayanannya dengan memperkuat observasi, analisis, prakiraan, dan perhitungan numerik.

BMKG optimis dapat memberikan layanan informasi dan diseminasi informasi yang lebih baik. Selain itu, dengan dukungan peralatan teknologi terkini, penguatan analisis dan peningkatan SDM, dengan lahirnya 500 dokter baru di BMKG mampu menghadapi dinamika iklim laut di Indonesia.

Kesadaran akan cuaca dan perhatian terhadap iklim diharapkan menjadi budaya dan kebutuhan masyarakat di tanah air agar tidak tertimpa musibah parah yang berujung bencana.

Editor: Masukkan M. Astro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *