Tanggung jawab bersama terhadap pendidikan moral generasi emas

Jakarta (JurnalPagi) – “Semua orang adalah guru, setiap rumah adalah sekolah,” kata K. Hajer Devantara, Bapak Pendidikan Nasional.

Mengacu pada konsep ini, jika kualitas moral generasi sekarang tidak sesuai harapan, maka mereka tidak bisa saling tuduh atas kesalahan satu pihak terhadap pihak lain. Karena bagaimanapun juga, pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab sekolah dan guru saja, namun menjadi tanggung jawab kita semua, termasuk orang tua, masyarakat, dan tentunya pemerintah.

Jika setiap komponen bangsa menerima peran dan tanggung jawabnya, maka permasalahan pendidikan khususnya di bidang pembangunan karakter dan moral tidak akan menjadi permasalahan kompleks yang sulit diurai dan dipecahkan. Karena sebesar apapun suatu masalah, jika diselesaikan dengan dua cara, maka akan menjadi masalah kecil yang mudah diselesaikan.

Saat ini pembahasan mengenai moral, etika, dan karakter anak remaja sedang menjadi sorotan dan menjadi keprihatinan bersama seiring dengan tingginya angka kejahatan anak, hingga harus berhadapan dengan hukum di usia muda. Kecacatan nilai dan akhlak juga ditunjukkan dengan maraknya ketidaktaatan anak terhadap pertengkaran orang tua atau guru dan kasus serupa.

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mencatat ada 2.338 kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dalam tiga tahun pendataan (2020-2022). Tiga kasus utama yang melibatkan anak sebagai pelaku adalah terkait pencurian sebanyak 838 kasus, penyalahgunaan narkoba sebanyak 341 kasus, dan kasus lain seperti pornografi, perundungan, dan kecelakaan lalu lintas.

Menurut BPHN Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, penanganan ABH tidak bisa hanya bergerak ke hilir (pemberian bantuan hukum gratis), sehingga harus mengoptimalkan pencegahan dengan memberikan pelayanan langsung kepada anak di sekolah.

Dalam upaya mencegah hal tersebut, badan tersebut memiliki program yang disebut dengan “Pendampingan BPHN”, yaitu pemberian dan bimbingan terhadap anak usia dini oleh pejabat fungsional pendidikan hukum, melalui sekolah. Kegiatan rutin yang dilaksanakan secara serentak dan lancar pada tahun lalu ini melibatkan 527 pelaksana promosi hukum, bekerjasama dengan 6.208 advokat dan 5.744 advokat yang terakreditasi OBH anggota BPHN periode 2024-2022.

Mengingat pengembangan sumber daya manusia mendapat perhatian pemerintah dalam lima tahun terakhir, maka tidak mengherankan jika lembaga pendidikan mendapat perhatian pemerintah. Sebagai agen pendidikan generasi muda, selain menerima dana pembangunan, pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur, sekolah juga mendapat intervensi ekstensif seperti program BPHN, Polri, Kementerian Kesehatan dan lain-lain.

Banyaknya program Goes to School dari berbagai instansi pemerintah menjadi bukti betapa besarnya dukungan dan harapan bagi lembaga pendidikan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Membaca bersama guru di kelas. JurnalPagi/Sizuka



Semua orang berpartisipasi

Sekolah sebagai agen pendidikan bagi generasi muda menjadi harapan banyak pihak demi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, baik kemajuan akademik maupun kepribadian. Memang tidak salah jika mencita-citakan hal seperti itu bagi sekolah, namun tidak bisa sepenuhnya tanggung jawab atas hasilnya berada pada satu institusi. Ingat, dari 24 jam sehari, anak-anak hanya bersekolah sekitar 5-6 jam, selebihnya mereka bersosialisasi di masyarakat dan tinggal bersama keluarga. Oleh karena itu, masyarakat dan keluarga juga berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak dalam tumbuh kembangnya.

Menurut ulama Alquran sekaligus mantan Menteri Agama RI, Profesor Dr. Mohammad Quraysh Shahab, keadaan sosial dengan sistem nilai yang dianutnya mempengaruhi sikap dan pandangan masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan sikap mereka terbatas pada saat ini, maka upaya dan ambisi mereka juga terbatas pada hal ini.

Lingkungan masyarakat sangat mempengaruhi keberhasilan penanaman nilai moral dan estetika bagi pembentukan karakter. Biasanya, anak-anak menghabiskan sekitar setengah waktunya untuk berinteraksi sosial dalam kegiatan bermain dengan teman-temannya, dimana mereka berasal dari latar belakang yang berbeda. Tidak dapat dipungkiri, anak-anak, termasuk remaja, dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana ia dibesarkan.

Oleh karena itu, memilih lingkungan sosial yang sehat sebagai tempat tinggal merupakan hal yang penting bagi para orang tua atau calon orang tua. Jika Anda lahir dan besar di lingkungan yang buruk, kendalikan interaksi anak Anda. Memberikan pemahaman dan pedoman hidup yang utuh kepada anak agar pengaruh buruk lingkungan tidak mudah membuat mereka meniru.

Merujuk pada ajaran Ki Hajar Devantra bahwa rumah adalah sekolah dan tentunya orang tua juga merupakan guru bagi anaknya, maka pembentukan kepribadian anak paling efektif dilakukan di dalam keluarga. Kedekatan emosional dan faktor genetik menjadi peluang bagi orang tua untuk menjadi orang yang istimewa kemudian mengajar dan memberi contoh kepada anaknya.

Keluarga yang anggotanya mempunyai kesehatan jasmani, rohani, dan rohani yang baik menjadi tempat yang baik bagi tumbuh kembang anak. Anggota keluarga tidak hanya mendampingi anak dalam mengerjakan tugas sekolah, namun juga menanamkan nilai-nilai keagamaan seperti sopan santun, tingkah laku, dan budi pekerti. Jadi ketika anak-anak pergi “keluar”, baik itu ke sekolah, ke lingkungan sekitar, atau ke mana pun, mereka tidak melakukan hal-hal yang aneh-aneh, apalagi nakal dan cenderung kriminal.

Ketika seorang anak membuat masalah di luar, otomatis orang (untuk pertama kalinya) melihat siapa keluarganya, bukan di mana dia bersekolah dan siapa gurunya. Karena basis pendidikan berasal dari rumah, maka sekolah merupakan lembaga formal yang menyelenggarakan fungsi pendidikan umum. Meskipun dalam kurikulum sekolah juga terdapat pendidikan karakter yang diajarkan oleh guru, namun dalam praktiknya tidak menjadi masalah jika keluarga tidak mendukung pemberian wawasan dengan nasehat dan keteladanan sehari-hari.

Lingkungan sosial yang terdiri dari keluarga yang sehat pada gilirannya akan menjadi masyarakat yang beradab, sehingga aman sebagai tempat tumbuh kembang anak-anak di sana.

Selain itu, pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dapat berperan maksimal dalam pembuatan kurikulum guru dan siswa. Kurikulum yang tidak membebani guru dengan tugas-tugas teknis yang begitu rumit sehingga tidak mempunyai tenaga untuk merawat siswa dengan kualitas perhatian yang baik. Kurikulum juga harus semenyenangkan mungkin untuk diterapkan pada anak, sehingga sekolah menjadi kegiatan menyenangkan yang mendatangkan kegembiraan. Dan hadirnya kurikulum mandiri rupanya ingin menjawab kebutuhan zaman tersebut.

Anak bermasalah pada dasarnya adalah anak yang lupa bagaimana cara bersenang-senang. Apakah sekolah, rumah, dan masyarakat tidak membuatnya bahagia atau hanya masalah internal saja? Sekalipun masalah pribadi, lingkungan yang menyenangkan dan sehat tentunya dapat meminimalisir potensi munculnya benih-benih kriminal.

Pengembangan sumber daya manusia merupakan proyek besar yang berkelanjutan dan memerlukan pendekatan multi-sektoral yang serius. Program pemerintah di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, dan penggerak kesejahteraan sosial dapat dipastikan berperan penting dalam misi jangka panjang mewujudkan generasi emas.

Editor: Masukkan M. Astro
Hak Cipta © JurnalPagi 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *