Jakarta (JurnalPagi) – Psikolog klinis Feka Ange Pramita mengatakan, anak korban kekerasan seksual membutuhkan intervensi rutin untuk mengatasi trauma akibat pengalaman negatif yang dialaminya.
“Bagi para korban, apa yang mereka rasakan adalah dampak psikologis jangka panjang, sehingga perlu intervensi rutin hingga pengalaman negatifnya hilang,” katanya kepada JurnalPagi melalui email di Jakarta, Minggu.
Feka yang merupakan lulusan Universitas Indonesia dan tergabung dalam Perhimpunan Psikolog Klinis Indonesia di DKI Jakarta ini mengatakan bahwa pengalaman adalah ingatan dan juga trauma, yang merupakan perpaduan antara ingatan dan emosi.
Oleh karena itu, lanjutnya: intervensi harus membantu anak pulih secara emosional dari ingatan akan kejadian tersebut.
Menurutnya, pemulihan peristiwa kekerasan seksual harus dilakukan oleh psikolog klinis, yang juga bisa dibantu oleh konselor terlatih. Pemulihan ini mungkin bukan untuk korban, tetapi untuk keluarga juga.
Begini cara mencegah pelecehan seksual terhadap anak
Oleh karena itu, orang tua harus berperan dalam komunikasi yang baik dan menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Sedangkan pada anak sangat diperlukan adanya keterbukaan dan komunikasi dengan orang tua.
Upaya untuk membangun koneksi ini termasuk bermain dengan anak-anak, menghabiskan waktu pagi bersama dan mengobrol bersama, dan bermain game yang dimainkan anak-anak.
Pada usia remaja, orang tua harus mengetahui kesukaan anaknya dan mengikuti cerita atau perkembangannya.
“Anak tidak hanya butuh kualitas, tapi juga kuantitas. Habiskan waktu sebanyak mungkin dengan anak,” kata Feka.
Di sisi lain, pelaku juga sangat membutuhkan intervensi termasuk penyuluhan termasuk pendidikan bahwa kekerasan dalam bentuk apapun adalah perbuatan yang buruk.
Dia mengingatkan, pelaku kekerasan seksual bukan hanya orang yang tidak mereka kenal, bahkan seringkali sosok yang sudah dikenal oleh anak-anak. Dia menyarankan agar orang tua mengajari anak untuk menganalisis situasi yang tidak biasa, salah satunya adalah ketika orang dewasa meminta anak untuk tidak melaporkan situasi yang tidak biasa.
KPPPA: Korban kekerasan seksual segera ditangani untuk mencegah gangguan jiwa
Menurutnya, ini adalah contoh situasi yang tidak biasa ketika orang dewasa yang dekat dengan anak meminta mereka untuk tidak menceritakan atau melaporkan hal tersebut kepada orang tua mereka.
Sementara itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat 10 kasus kekerasan seksual terhadap anak di satuan pendidikan, baik di asrama maupun di luar asrama, sejak Januari hingga 18 Februari 2023.
Sebanyak sembilan kasus telah dilaporkan ke polisi, sementara satu kasus di Gunung Kidul diselesaikan dengan pemindahan ruang kelas dan pengurangan jam mengajar guru yang melanggar.
Ketua Dewan Pakar PSGI, Retno Listiarti menilai, penjatuhan hukuman tersebut tidak mempertimbangkan kondisi psikologis korban yang masih bersekolah dan kemungkinan besar bertemu dengan guru pelanggar setiap hari di lingkungan sekolah.
Dikatakannya: “Sementara itu, guru pelaku tetap memiliki kemampuan untuk melakukan hal yang sama, namun terhadap anak lain. Keputusan punitif seperti itu tidak memberikan efek jera bagi pelaku dan tidak akan efektif dalam melindungi anak di lingkungan sekolah. ” dipublikasikan dalam keterangan tertulisnya
FSGI juga membuat sejumlah rekomendasi untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan sekolah, salah satunya mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan guru yang melakukan kekerasan seksual terhadap siswanya, guna mendorong efek jera. Dan pada saat yang sama, tidak ada lagi anak yang menjadi korban.
Menteri PPPA: Pentingnya Sinergi Lintas Sektor dalam Melawan Kekerasan
Sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan UU RI No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang menyatakan bahwa kasus tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan.
FSGI juga mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk lebih mensosialisasikan dan mengimplementasikan kebijakan Permendikbud No. 82 Tahun 2014 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan pada satuan pendidikan.
FSGI juga mendorong Kementerian Agama untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan Kebijakan PMA No.2. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Sekolah dan Pesantren atau Satuan Pendidikan di Bawah Kementerian Agama. Pasalnya, kasus kekerasan seksual di sekolah dan pesantren lebih banyak dibandingkan dengan satuan pendidikan yang berada di bawah pengawasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Data FSGI menunjukkan bahwa 50% kasus kekerasan seksual terjadi di tingkat SD/MI, 10% di tingkat SMP, dan 40% di pesantren. Dari 10 kasus kekerasan seksual tersebut, 60% satuan pendidikan berada di bawah pengawasan Kementerian Agama dan 40% berada di bawah pengawasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
KPPPA: Jangan Isolasi Anak Korban Kekerasan Seksual
Komunikasi yang baik dalam keluarga mencegah anak menjadi korban
Perempuan dan anak korban kekerasan seksual mengalami dampak yang lebih besar
Koresponden: Lia Vanadriani Santosa
Editor: Satyagraha