Tradisionalisme Piala Dunia dan peluang Indonesia ke depan

Jakarta (ANTARA) – Sepak bola merupakan cabang olahraga yang begitu digemari dan dicintai oleh mayoritas penduduk bumi. Tidaklah mengherankan bila gelaran akbar empat tahunan macam Piala Dunia menjadi event yang begitu dinantikan oleh miliaran manusia di seluruh negara. Sampai-sampai tahun digelarnya Piala Dunia disebut juga sebagai “tahunnya sepak bola”.

Piala Dunia selalu menghadirkan drama tersendiri. Tidak sedikit tim-tim besar yang tumbang oleh tim yang tidak begitu diunggulkan sebagai bagian drama di Piala Dunia. Tetapi drama itu sejauh ini nampaknya hanya berlaku sampai fase empat besar. Karena puncak drama Piala Dunia tidak pernah di luar prediksi. Tim-tim unggulan atau yang berstatus sebagai kekuatan tradisional di Piala Dunia pada akhirnya akan keluar sebagai kampiun.

Kekuatan tradisional

Dalam konteks Piala Dunia, label “kekuatan tradisional” mengandung setidaknya tiga makna mendasar. Mulai dari definisi sebagai kekuatan yang akan selalu diunggulkan dalam setiap gelaran turnamen. Kemudian parameter yang terlihat dari konsistensi baik dari aspek raihan prestasi maupun keikutsertaannya dalam Piala Dunia. Lalu predikat yang tidak sembarangan karena tidak semua negara memilikinya.

Kenyataannya memang tiada satu dekade terlewati, kecuali negara yang menjadi kekuatan tradisional itu mengangkat tropi Piala Dunia. Sebagai contohnya kita ambil tiga negara yang menjadi kekuatan tradisional di Piala Dunia yakni Brazil, Jerman dan Italia. Ketiga negara ini secara silih berganti mengisi di tiap dekade sebagai kampiun.

Untuk diketahui bahwa Piala Dunia telah berlangsung sejak dekade tahun 1930an. Jika dihitung secara keseluruhan maka gelaran Piala Dunia telah digelar selama delapan dekade. Yakni dekade tahun 1930an (dekade pertama), 1950an (kedua), 1960an (ketiga), 1970an (keempat), 1980an (kelima), 1990an (keenam), 2000an (ketujuh), 2010an (kedelapan) Minus dekade tahun 1940an yang terpaksa ditiadakan karena ancaman perang.

Dekade pertama saat Piala Dunia digelar terdapat Italia yang merengkuh dua tropi di tahun 1934 dan 1938. Dekade kedua ada Jerman yang juara di tahun 1954 dan Brazil di tahun 1958. Pada dekade ketiga Brazil kemudian juara lagi di tahun 1962. Kemudian di dekade keempat Brazil kembali juara di tahun 1970 dan Jerman di tahun 1974. Italia tampil mengisi dekade kelima dengan gelar juara di tahun 1982. Sementara di dekade keenam, Jerman dan Brazil kembali berduet dengan menjuarai Piala Dunia masing-masing di tahun 1990 dan 1994.

Memasuki millennium baru atau tepatnya di dekade ketujuh, kali ini giliran Brazil dan Italia yang berduet untuk mengangkat tropi masing-masing di tahun 2002 dan 2006. Sedangkan pada dekade kedelapan ada Jerman yang menjuarainya di tahun 2014. Selama delapan dekade, ketiga tim yang menjadi kekuatan tradisional itu saling bergantian mencantumkan nama mereka masing-masing.

Jika dijumlah, ketiga negara itu telah mengumpulkan sebanyak 13 tropi Piala Dunia dimana Brazil yang terbanyak (5 trofi), disusul Jerman (4 trofi) dan Italia (4 trofi). Dengan lain perkataan, dari dua puluh satu gelaran Piala Dunia, enam puluh persen diantaranya diraih oleh ketiga negara tersebut.

Tradisionalisme

Walau zaman terus bergulir dan generasi terus berganti, rasanya agak sulit bagi kita untuk tidak mengunggulkan negara-negara yang terlanjur menyandang predikat sebagai kekuatan tradisional di Piala Dunia. Bahkan ketika kekuatan tradisional itu dikerucutkan menjadi tiga tim saja, atau minus tim-tim yang sudah menggandakan raihan tropi Piala Dunia macam Argentina, Perancis, dan Uruguay, dunia seolah tetap dipaksa untuk menerima “tradisionalisme” yang begitu kuat dan menyejarah di Piala Dunia.

Tim-tim tradisional bukan hanya selalu konsisten untuk menjadi yang terbaik di setiap zaman. Lebih dari itu, upaya untuk meraih dan mempertahankan gelar juara bagi mereka tidak ubahnya seperti menjaga sesuatu yang sudah menjadi tradisi dan sekaligus kehormatan mereka. Pada akhirnya, tim-tim dengan tradisi juara akan memperoleh anggukan universal atas visinya dalam menjaga tradisi juara.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah kekuatan tradisional mampu menjaga ismenya di Piala Dunia kali ini? Atau justru ada jawara baru yang di luar prediksi para pengamat serta pecinta sepakbola. Tentu masih terlalu dini bagi siapapun untuk memprediksi nama juaranya. Kita hanya bisa menikmati hiburan berkelas empat tahunan bersama sahabat dan keluarga.

Peluang Indonesia ke depan

Untuk diketahui bahwa Piala Dunia edisi ke 22 ini akan menjadi Piala Dunia terakhir yang diikuti oleh 32 peserta. Karena ke depan peserta Piala Dunia akan ditambah sebanyak 16 negara atau akan diikuti oleh 48 negara. Ini tentu suatu kabar yang baik bagi seluruh negara tidak terkecuali bagi Asosiasi sepak bola Asia (AFC) sebagai asosiasi tempat Indonesia bernaung.

AFC nantinya akan memperoleh tambahan kuota peserta Piala Dunia. Dari yang semula hanya sebanyak empat tiket otomatis dan dua melalui jalur play-off menjadi delapan tiket otomatis dan satu melalui play-off.

Tambahan tiket Piala Dunia ini harus dilihat sebagai peluang bagi Indonesia yang sangat mengidamkan untuk pentas di event akbar Piala Dunia. Kita sudah memastikan satu tiket untuk tampil di Piala Asia 2023. Dan di level junior kita akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Tentu bukan mimpi disiang bolong jika kita ke depan menargetkan untuk lolos sebagai salah satu peserta Piala Dunia 2026.

Para pecinta sepakbola di Tanah Air tentu menyambut ini sebagai suatu berkah di tengah harapan yang menggebu. Harapan yang sudah dinantikan selama puluhan dekade ini harus dijawab dengan kerja yang maksimal oleh seluruh insan sepakbola Indonesia terutama PSSI. PSSI harus berkonsentrasi memperhatikan semua aspek terkait sepakbola sebagai prioritas.

Salah satu hal terpenting yang menjadi target jangka panjang tentu pembinaan pada level usia muda. Terutama menyiapkan dan memperhatikan secara khusus timnas U20 yang akan tampil di Piala Dunia U20 nanti sebagai ajang untuk memperlihatkan kemampuan dan sekaligus menimba pengalaman pada level tertinggi. Bekal pengalaman itu nantinya diharapkan mampu mengasah mental dan fisik para pemain untuk jenjang dan kompetisi yang lebih tinggi di timnas senior.

Keinginan untuk tampil di turnamen prestisius macam Piala Dunia adalah keinginan semua negara. Tidak ada negara yang bersantai untuk mewujudkan keinginan itu. Semua tentu melalui kerja keras maksimal dan proses yang panjang. Semoga Indonesia bisa membenahi dan mengembangkan berbagai aspek untuk kemajuan sepakbola kita.

* Penulis merupakan lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia Pecinta Sepak bola.

COPYRIGHT © ANTARA 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *