Pentingnya pembiayaan ramah petani untuk swasembada daging

JAKARTA (JurnalPagi) – Perekonomian petani kecil dapat meningkat jika pemerintah membuat kemajuan dalam kebijakan pembiayaan peternakan.

Selama ini, pemerintah mengandalkan dua skema keuangan dari bank dan hibah untuk menggenjot produksi daging sapi dan meningkatkan ekonomi petani kecil.

Kedua skema ini memiliki kelemahan karena tidak sesuai dengan budaya khas peternak dan berbeda dengan sistem komersial selain peternakan sapi. Pengembangan yang tepat dapat menjadi cara untuk mengatasi kelemahan metode ini.

Sistem perbankan tunduk pada peraturan Bank Indonesia sehingga petani penerima pembiayaan harus mengangsur sejak bulan pertama pembayaran.

Rencana ini tidak sesuai karena peternak yang mendapat dana pembibitan baru bisa berkembang biak di tahun kedua. Jika anak ayam dijual, dana pertama yang diterima peternak baru akan terealisasi pada tahun kedua atau bulan ke dua puluh empat.

Di sisi lain, skema hibah pelatihan tidak bersifat mendidik karena tampaknya para penanam mendapatkan uang segar tanpa merasa berkewajiban untuk mengembalikannya. Akibatnya, kedua skema ini sering gagal.

Kegagalan inilah yang membuat berbagai upaya pemerintah untuk mencapai swasembada daging sapi atau sekedar mengurangi volume impor daging sapi selalu menemui jalan buntu.

Hingga Maret 2022, impor pangan masih didominasi daging beku dengan nilai impor US$64,7 juta, diikuti impor solar dan gula, menurut data Departemen Perdagangan tahun 2022.

Jika melihat nilai impor daging beku dari USD 19,0 juta pada Februari 2022, pertumbuhan impor juga meningkat sebesar 240,53% month-on-month (MoM).

Bahkan daging beku memberikan kontribusi pertumbuhan nilai impor barang konsumsi sebesar 3,80% dari total pertumbuhan nilai impor barang konsumsi yang meningkat sebesar 51,23% setiap bulannya.

Pembangunan politik diperlukan karena beternak sapi secara kultural merupakan bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Buktinya, berdasarkan perhitungan neraca pangan yang disusun Badan Pangan Nasional tahun 2023, cadangan awal daging nasional sebesar 56 ribu ton, sedangkan rata-rata kebutuhan daging nasional per bulan sebesar 67 ribu ton.

Saat ini pilihan untuk mendapatkan stok daging dari luar negeri masih dilakukan untuk memenuhi kebutuhan stok daging sapi nasional.

Daging sapi merupakan produk utama peternakan sapi potong, saat ini 98% populasinya berada di peternakan rakyat.

Jika pemerintah serius meningkatkan populasi sapi potong, maka akan ada kemajuan yang mengutamakan kebijakan masyarakat, karena secara kultural skala kepemilikan sapi oleh masyarakat kecil dan tidak ekonomis.

Hambatan bagi petani kecil untuk meningkatkan usahanya dibatasi oleh banyak peraturan bank yang tidak berpihak pada situasi petani.

Di sisi lain, pemerintah adalah pembuat kebijakan yang dapat mengintervensi untuk membantu mengurangi penurunan peternak.

Penguatan modal

Ketersediaan daging tergantung pada jumlah sapi potong. Jumlahnya sangat tergantung pada jumlah ayah dalam populasi. Jika rata-rata peternak hanya memelihara 2-3 ekor sapi, dengan asumsi mampu beranak setahun sekali, maka populasinya akan bertambah sekitar 24 ekor dalam waktu 10 tahun. Angka ini sangat kecil meski diramalkan dari jumlah peternak di Tanah Air.

Agar peternak lebih cepat meningkatkan populasi sapinya, diperlukan kebijakan penguatan permodalan dari pemerintah. Untuk pembibitan diperlukan modal yang merupakan subsistem peternakan dengan biaya investasi paling tinggi.

Siklus reproduksi mengharuskan peternak menunggu induknya melahirkan, dengan waktu penahanan yang lama dan melibatkan biaya pakan, biaya kesehatan dan biaya pemeliharaan, ditambah resiko besar bahwa peternak mampu menghasilkan pedet setiap tahun. .

Presiden Joko Widodo selalu berpesan agar peternakan dapat dikembangkan sebagai usaha dengan skala ekonomi tertentu.

Tujuannya adalah agar peternak mencapai produktivitas komersial dan berkembang. Kelemahan permodalan menjadi kendala dalam upaya peningkatan usaha peternakan dan pengembangan usaha.

Kredit Usaha Rakyat Khusus (KUR) yang diberikan pemerintah kepada petani kecil dengan skema pembiayaan dengan bunga yang relatif rendah yaitu 6% dengan limit kredit hingga Rp500.000.000 tentu sangat menguntungkan bagi petani.

Namun, jangka waktu pembiayaan yang diberikan masih terlalu singkat untuk sebuah usaha pembibitan. Padahal, para penanam sangat membutuhkan tenggang waktu untuk mengatur napas dan melunasi kewajiban kredit.

Peternak mendapatkan hasil dari pembibitan selama minimal 1 tahun, dan tentunya jika pedet yang lahir dijual, peternak tidak bisa mengembangkan usahanya.

Dari segi efisiensi komersial dan sebagai upaya pengembangan populasi sapi potong, pembibitan paling efektif dilakukan dengan skala kepemilikan minimal 10 ekor sapi per peternak yang dikelola sebagai badan usaha.

Dengan skala ini, jika ada 20 anggota dalam satu kelompok, maka dipertahankan 200 generator. Dalam proyeksi yang paling optimis yaitu seekor sapi dapat melahirkan satu ekor anak per tahun dengan kehilangan anak sapi sebesar 5% per tahun, penambahan sapi dari populasi dasar dan tambahan indukan selama 10 tahun ke depan akan mencapai 1000 ekor atau 500 ekor. Pak

Asumsikan harga seekor sapi dara Rp 15 juta, maka modal awal peternak korporat untuk membeli 200 ekor tukik awal adalah Rp 3 miliar dan biaya pemeliharaan, asumsi Rp 15.000.000 per ekor, maka biaya pemeliharaan yang dibutuhkan dalam satu tahun adalah 1,095 miliar toman atau 5 It adalah Rp475,00. Kepala .

Dengan biaya yang dibutuhkan, cicilan kredit yang dikumpulkan sebelum indukan berproduksi sudah pasti terlalu berat bagi para peternak.

Skema pembiayaan yang memudahkan peternak dalam usaha pembibitan adalah dengan memberikan tenggang waktu sesuai siklus produksi minimal 3 tahun dan jangka waktu kredit minimal 10 tahun.

Dengan ramalan optimis ini, peternak akan mulai mendapat untung kecil di Tahun 3 dari tambahan peternak, penjualan sapi potong, atau penjualan daging.

Menurut statistik peternakan, angkatan kerja di sektor peternakan adalah 4 juta 968 ribu 992 orang. Jika 10% dari angkatan kerja berkembang biak, maka jumlah ayah dalam peternak adalah 4,97 juta. Dengan proyeksi populasi 10 tahun mendatang akan ada 19,7 juta sapi potong atau 9,8 juta sapi bakalan lagi.

Kuota impor akan mencapai 344,5 ribu ekor pada tahun 2022 atau dalam sepuluh tahun, jika jumlah impor diasumsikan konstan maka jumlah impor akan menjadi 3,455 juta ekor.

Dengan kata lain, populasi bakalan yang tersedia cukup untuk menghasilkan sapi potong yang dibutuhkan.

Dalam situasi ini, masyarakat berharap pemerintah dapat memberikan keringanan skema dan kebijakan pembiayaan.

Bentuknya berupa rencana untuk mendukung usaha peternakan sapi potong rakyat agar lebih efektif dan efisien dengan memodifikasi KUR agar lebih sesuai bagi peternak.

Skema pembiayaan ini dapat melatih mental petani untuk bertanggung jawab dalam pengelolaan usaha sekaligus mempercepat pencapaian swasembada pangan.

*) Dokter (Kand). dr. Aulia Evi Susanti, M.Si. Mahasiswa S3 Ilmu dan Teknologi Produksi Peternakan, IPB University.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *