Semarang (JurnalPagi) – Mampukah media mempertahankan independensinya sementara Malik juga merupakan tokoh kunci di partai politik? Apakah fenomena multi posisi strategis menggerogoti nilai-nilai demokrasi yang menempatkan pers sebagai pilar keempat?
Presiden Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Jawa Tengah (PWI). Amir Mechmoud NS melontarkan pertanyaan retoris: “Bisakah pers melindungi demokrasi? Mungkin pers harus diawasi agar dapat menjaga nilai-nilai demokrasi!”
Keran kebebasan yang terbuka sejak reformasi 1998 telah mendorong lebih banyak pengusaha, termasuk pemilik media, memasuki ranah politik praktis. Bagi mereka, media bukan sekadar bisnis mencari keuntungan. Di luar itu, memiliki media berarti memiliki kemampuan untuk mengontrol opini publik, yang merupakan aset penting dalam politik.
Oleh karena itu, begitu para pemilik media disingkirkan dari partai politik lama, dengan modal, jaringan dan pengaruhnya, tidak akan terlalu sulit bagi mereka untuk mendirikan partai politik. Rumitnya menciptakan infrastruktur partai politik juga tidak menjadi kendala bagi mereka. Dengan dukungan jaringan yang luas serta sumber dana yang hampir tidak ada habisnya, kedua hal tersebut tidak menjadi masalah besar bagi mereka untuk membentuk partai baru.
Memiliki media – salah satu alat penting propaganda – politisi Apresiasi Pengusaha media ini memiliki posisi politik yang lebih kuat dibandingkan politisi lainnya. Selain itu, peran mereka di partai juga sangat dominan.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang Dr. Tornomo Rahardjo mengatakan, beberapa ruang redaksi stasiun TV milik tokoh sentral partai politik lain kebal dari campur tangan pemilik media.
Seberapa intens stasiun TV, dalam Teks berjalan-Menurut hasil survei lembaga penelitian politik, hal itu menunjukkan elektabilitas partai-partai berafiliasi.
Berita TV juga kerap menayangkan kegiatan sosial yang dilakukan pengurus partai.
Berkaitan dengan politisi dan kepemilikan media, sulit untuk mengharapkan independensi media tetap terjaga. Padahal, TV mereka menggunakan frekuensi publik sehingga penggunaannya juga untuk kepentingan publik.
Oleh karena itu, masyarakat patut diapresiasi sejumlah media yang tetap teguh menjaga independensinya dari tarikan kepentingan politik praktis maupun godaan kepentingan komersial sesaat di tahun politik ini.
keberpihakan
Amir Machmoud, yang juga dosen jurnalistik di sejumlah universitas Lihat, itu sudah ada Fenomena bias di kalangan media yang ditandai dengan praksis dan orientasi jurnalistik yang jauh dari nilai-nilai jurnalistiknya sendiri.
Padahal, media massa memiliki pedoman berupa undang-undang pers, sehingga konten produksinya harus memberikan edukasi dan kontrol sosial, yang diatur dalam kerangka piagam etik jurnalistik (KEJ).
Menurutnya, KEJ dalam menjalankan tugas kenabiannya harus digunakan sebagai bentuk ekspresi yang keluar dari pori-pori kulit jurnalistik.
Amir mengamati adanya kecenderungan menguatnya dualitas yang antara lain terbentuk dari konflik opini di jejaring sosial dan media.
“Yang perlu dikhawatirkan adalah polarisasi yang menimbulkan dikotomi, seperti mengklaim ini pancasila, ini bukan, ini nasionalis atau bukan, dikotomi gender dan sebagainya,” ujarnya.
Tekan, dengan lebih banyak mekanisme kerja keras Dalam memverifikasi fakta, ia lebih mempertimbangkan untuk mereduksi fenomena polarisasi dengan memberikan informasi yang menghargai keragaman.
“Jangan sampai masyarakat terus dibanjiri informasi yang mengancam kebhinekaan, terutama yang mengalir dari akun media sosial,” ujarnya dalam acara penyambutan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2023 di Semarang. , awal Maret
“Jurnalis Cerdas, Media Sehat” sebagai tema HPN Jateng 2023 mengingatkan kita bahwa seramai apapun dunia media digital penuh dengan ambiguitas informasi, media massa harus tetap sehat, dan jurnalis tidak boleh terlalu sering membaca rambu-rambu sehingga terpeleset. lumpur gelap dunia. maya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranu sebelumnya mengatakan, meski media sosial semakin dominan membentuk opini netizen, media massa (mainstream) tidak boleh mati.
Ia menegaskan: Cara kerja media massa yang membutuhkan pengecekan dan validasi informasi menjamin keakuratan informasi yang dihasilkan oleh media arus utama.
Ada kode etik, undang-undang pers, penyaringan, hingga tingkat tanggung jawab yang memandu proses produksi informasi agar hasilnya lebih akuntabel daripada konten yang diunggah akun media sosial.
Oleh karena itu, mayoritas masyarakat Indonesia masih mengandalkan media massa online sebagai sumber informasi utama.
Menurut hasil riset Reuters Institute pada tahun 2021, masyarakat Indonesia mengandalkan sumber berita dari media. on line (89 persen), diikuti media sosial (64 persen), televisi (58 persen), dan media cetak (20 persen).
Sekaligus, data ini menegaskan bahwa keberadaan media sosial harus diakui, tidak bisa lagi diperlakukan sebagai sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Media sosial telah menjadi bagian dari audiens untuk mencari informasi.
Oleh karena itu Ganjar mendorong kerja sama atau kolaborasi antara pengelola media sosial dan pemilik akun media sosial.
Dari kerja sama ini, setidaknya para pemilik akun jejaring sosial lebih sadar akan tanggung jawab mereka ketika mempublikasikan konten secara online.
Di pihak media arus utama, tingkat kepercayaan publik yang tinggi ini seharusnya menjadi faktor bagi para pengawas untuk terus mendukung kode etik jurnalistik.
Diedit oleh: Salmat Hadi Pournomo