Menakar bahaya air limbah PLTN Fukushima

Pelepasan Air Limbah Nuklir Fukushima: Fakta dan Keamanannya

Pemerintah Jepang membantah bahwa mereka akan melepas advanced liquid processing system (ALPS) ke laut jika itu membahayakan manusia dan lingkungan laut. Namun, kebijakan ini memicu kekhawatiran dan reaksi dari beberapa negara terkait keamanan produk laut yang berasal dari Jepang.

Pelepasan air limbah nuklir dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi ke Samudra Pasifik telah menjadi topik perdebatan yang hangat. Air tersebut digunakan untuk mendinginkan teras reaktor yang meleleh akibat gempa dan tsunami pada tahun 2011. Namun, air limbah tersebut mengandung radio isotop, termasuk tritium, yang dapat berdampak buruk pada kesehatan manusia dan lingkungan laut jika terpapar dalam jumlah besar.

Tritium, zat radioaktif yang terkandung dalam air limbah tersebut, dapat memancarkan radiasi beta yang berpotensi merusak kromosom dan sel dalam tubuh, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kanker. Selain itu, jika terjadi pelepasan air limbah dalam jumlah besar, hal ini dapat membahayakan biota laut.

Namun, menurut pakar nuklir The University of Electro-Communications Tokyo, Raka Firman Baskara, zat radioaktif seperti tritium hanya berpengaruh signifikan jika terjadi paparan dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat, seperti saat terjadi ledakan. Dalam kasus air limbah nuklir Fukushima Daiichi, sebagian besar zat radioaktif dalam air tersebut sudah meluruh karena telah disimpan selama 12 tahun.

Berdasarkan data Perusahaan Listrik Tokyo (TEPCO), kandungan tritium dalam air limbah yang dilepaskan ke laut berada di bawah batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Kandungan tritium tersebut adalah sebanyak 6,1 sampai 6,8 Bq/L, sedangkan batas toleransi adalah hingga 11 Bq/L. Hasil pengambilan sampel dilakukan di 10 titik yang berjarak tiga kilometer dari PLTN Fukushima Daiichi.

Pemerintah Jepang, berdasarkan persetujuan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), mengeluarkan kebijakan untuk mengalirkan air limbah nuklir tersebut ke Samudra Pasifik karena tangki yang dapat menampung air limbah tersebut sudah tidak sanggup lagi. Kebijakan ini dianggap lebih aman daripada membiarkan air limbah tertampung dalam tangki yang berpotensi menyebabkan kebocoran dan mencemari tanah.

Analoginya adalah jika kita mencampurkan 10 sendok kopi dalam satu gelas air, maka efeknya akan terasa sangat pekat dan pahit. Namun, jika 10 sendok kopi tersebut dicampurkan dalam satu baskom air, maka rasanya tidak akan terlalu terasa. Dalam hal ini, kepekatan kandungan tritium akan jauh berkurang ketika air limbah tersebut mencampur dengan air laut yang secara alami juga mengandung zat tersebut.

Pemerintah Jepang menegaskan bahwa mereka tidak akan melepas advanced liquid processing system (ALPS) ke laut jika itu membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan laut. Mereka melakukan tiga pengawasan yang ketat terhadap air limbah nuklir tersebut, yaitu pengawasan di tangki, pengawasan secara seketika (real-time), dan pengawasan air laut.

Meskipun pemerintah Jepang telah menjalankan pengawasan yang ketat dan hingga saat ini tidak ditemukan anomali dalam kandungan nuklida, kebijakan ini tetap memicu reaksi dari beberapa negara seperti China, Rusia, Hong Kong, dan Macau yang menangguhkan sementara impor ikan dari Jepang. Larangan impor berlaku untuk produk dari 10 prefektur, termasuk Fukushima. Namun, warga Jepang dan diaspora Indonesia yang tinggal di Jepang mengaku tetap membeli dan mengonsumsi produk laut, karena mereka yakin bahwa produk-produk tersebut aman.

Dalam hal ini, penting bagi kita semua untuk melakukan pengecekan ulang dan memastikan kebenaran informasi sebelum membuat kesimpulan. Selain itu, kita juga perlu mempercayai proses pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang dan badan-badan terkait untuk memastikan keamanan produk laut yang berasal dari Jepang.

Sumber:
– https://www.antaranews.com/berita/2976992/pemerintah-jepang-tidak-akan-melepas-air-limbah-fukushima-ke-laut-jika-membahayakan
Pemerintah Jepang telah mengeluarkan kebijakan untuk mengalirkan air olahan dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi ke Samudra Pasifik. Hal ini dilakukan karena tangki penyimpanan air yang ada tidak lagi sanggup menampung air tersebut. Meskipun demikian, pemerintah Jepang menegaskan bahwa mereka tidak akan melepas air tersebut ke laut jika hal itu membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan laut.

Air olahan yang akan dilepaskan tersebut digunakan untuk mendinginkan teras reaktor yang meleleh akibat gempa dan tsunami yang terjadi 12 tahun yang lalu. Air tersebut mengandung zat radioaktif, termasuk tritium, yang merupakan zat radioaktif berbahaya karena dapat memancarkan radiasi beta yang dapat merusak kromosom dan sel dalam tubuh.

Namun, pakar nuklir The University of Electro-Communications Tokyo, Raka Firman Baskara, menjelaskan bahwa zat radioaktif hanya berpengaruh signifikan jika paparannya terjadi dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat. Dalam kasus air olahan dari PLTN Fukushima Daiichi, sebagian besar zat radioaktif yang terkandung dalam air tersebut sudah meluruh seiring dengan waktu penyimpanan selama 12 tahun.

Berdasarkan data Perusahaan Listrik Tokyo (TEPCO), kandungan tritium dalam air olahan tersebut berada di bawah batas kandungan yang dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Pemerintah Jepang juga melakukan tiga pengawasan terhadap air olahan tersebut, yaitu pengawasan di tangki penyimpanan, pengawasan secara real-time, dan pengawasan terhadap air laut.

Meskipun demikian, kebijakan Jepang untuk melepas air olahan tersebut menuai reaksi dari beberapa negara, seperti China, Rusia, Hong Kong, dan Macau yang menangguhkan sementara impor ikan dari Jepang. Larangan impor berlaku untuk produk makanan laut dari 10 prefektur terdampak, termasuk Fukushima.

Meskipun adanya kebijakan tersebut, warga Jepang tetap membeli dan mengonsumsi produk laut, terutama produk olahan mentah seperti sushi dan sashimi. Mereka meyakini bahwa produk-produk tersebut aman dikonsumsi. Beberapa diaspora Indonesia yang tinggal di Jepang juga merasa lebih aman mengonsumsi produk lokal Jepang, termasuk ikan.

Pemerintah Jepang menegaskan bahwa mereka tidak akan melepas air olahan ke laut jika hal itu membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan laut. Mereka juga berkomitmen untuk membatasi kandungan tritium dalam air olahan dibawah batas konsentrasi yang ditetapkan oleh aturan Jepang dan Badan Kesehatan Dunia.

Dalam hal ini, diaspora Indonesia di Jepang disarankan untuk melakukan pengecekan ulang terhadap informasi yang diterima guna memastikan kebenarannya. Pemerintah Jepang juga terus melakukan pengawasan terhadap air olahan dan tidak ditemukan adanya anomali dalam kandungan nuklida, termasuk tritium, baik di laut maupun di produk laut yang beredar di pasaran.

Dengan demikian, pemerintah Jepang berharap kebijakan mereka untuk melepas air olahan dari PLTN Fukushima Daiichi ke Samudra Pasifik dapat dilakukan dengan aman dan tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan laut.