Akademisi: Serikat guru seharusnya tidak hanya menjadi wacana

Kami berharap diskusi panjang ini tidak hanya berhenti sebagai ruang diskusi, tetapi aksi nyata untuk menjadi wadah serikat guru Indonesia yang berkemajuan dan berkeadilan.

Jakarta (JurnalPagi) –

Abdullah Sumrahadi, budayawan yang juga akademisi ilmu administrasi Universitas Krisnadupayana Bekasi, menegaskan, serikat guru tidak boleh sekadar wacana.

“Saya harap debat panjang kita tidak hanya berhenti sebagai ruang diskusi, tetapi aksi nyata untuk membentuk wadah serikat guru Indonesia yang maju dan adil,” kata Abdullah dalam diskusi tentang serikat guru yang diikutinya secara daring di Jakarta. , Senin

Beliau juga mengatakan: Komponen gaji yang diberikan kepada profesor harus lebih dari tunjangan.

“Pegawai kampus yang diidolakan saat menjabat karena ada untungnya jika menduduki jabatan itu, menjatuhkan politik kenegaraan di kampus-kampus,” ujarnya.

Selain itu, Abdullah juga mengkritik sistem publikasi Ostad yang harus memenuhi standar Scopus, database jurnal Belanda, yang menurutnya terlalu sulit.

Misalnya guru besar yang berprestasi harus ada publikasi Q1, kalau tidak masuk ke sana, ada ancaman dari pemerintah, maka fungsi serikat guru ini harus bisa memberikan suara yang berbeda, fungsi guru besar. Dalam bentuk penelitian Tri Dharma, tidak hanya dari Scopus, tetapi juga dari Open Knowledge (pengetahuan gratis) didistribusikan di saluran yang berbeda.

Sementara itu, pembahasan tentang penjaminan tenaga kerja guru atau Dana Ketenagakerjaan Di Indonesia masih rendah.

“Kalau ingin BPJS Ketenagakerjaan memiliki return on investment (ROI) yang tinggi, maka gajinya harus tinggi. Bagi guru yang gajinya Rp 1-3 juta, nanti akan sulit pensiun. Guru memiliki beban kerja yang berat ,” katanya. : “Tingkat stres tinggi, bukan biaya tambahan yang harus dikeluarkan setiap bulan.”

Ia juga membandingkannya dengan sistem kuliah di luar negeri yang mengarah pada pendidikan dharma yang lebih tinggi, pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Ia mengatakan: “Tuntutan bekerja di luar negeri patut diperjuangkan, karena penghasilannya lumayan, reputasinya terjaga, fasilitasnya bagus, dan bebannya sebesar bebannya sebagai seorang akademisi.”

Menurutnya, kewajiban menerbitkan narasumber yang merupakan tindak lanjut dari Tri Dharma masih memberatkan guru sehingga sistem tersebut tidak berjalan dengan baik di luar negeri.

“Sampai saat ini guru di Indonesia seperti robot, tapi gajinya tidak sesuai keinginan. Di era itu, buku sekotak, gaji sepeser pun,” ujarnya.

Menurutnya, sistem pendidikan yang baik tidak mendua dalam menindaklanjuti mutu pendidikan, dan salah satu indikator yang harus dicapai adalah kesejahteraan tenaga pengajar.

Beliau mengatakan: Tugas mulia guru harus menjadi panggilan psikologis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan ras, sehingga serikat guru harus terbuka untuk suku di luar Jawa.

“Kalau forum ini terbuka, maka jumlah suku di luar suku jalur utama Seperti di Jawa, banyak yang harus bergabung agar praktik ini lebih realistis.”

Dosen yang juga berkecimpung di platform Geotimes itu mengatakan, jika Indonesia ingin menjadi negara besar dan maju, harus dimulai dengan meningkatkan anggaran pendidikan.

Pemberita: Lintang Budhyanti Paramswari
Editor: Andy Johari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *